Lahiran Normal Pakai BPJS di Rumah Sakit? Bisa.. Asal….

Ditulis oleh: Clarabella

Hello Moms, saya mau cerita pengalaman saya menjelang detik-detik kelahiran sampai melahirkan ya.

HPL saya 14 Agustus 2014. Saya mulai ambil cuti tanggal 21 Juli 2014. Sebenernya sih saya pengennya ambil cuti mepet-mepet HPL biar lebih banyak waktu untuk ngurus bayinya, tapi apa daya Paksu ngizininnya cuti dari 3 minggu sebelum HPL.

Jadilah 3 minggu itu diisi dengan setiap hari jalan pagi ke pasar (kira-kira 700 meter dari rumah), biar ada tujuannya. Hehe. Terus diisi dengan masak setiap hari, yang biasanya jarang banget masak karena saya kerja *alasan*, sama.. yaudah tidur-tiduran, nungging-nungging biar dedek bayi turun kepalanya, istirahat, sambil harap-harap cemas, “Kapan sih mulesnya?” Rasanya waktu berjalan lambat dan pengen cepet-cepet lahiran.

Pas masih cuti sebelum lahiran itu saya sempetin ke Puskesmas untuk nyoba-nyoba bikin pengantar ke RS buat lahiran, karena saya mau nyoba pake BPJS. Di Puskesmas, saya ke bagian kebidanan, minta surat pengantar untuk lahiran di RS, saya pikir biar nggak buru-buru nanti mau lahiran baru minta surat pengantar. Terus kata bidannya, “Nggak bisa Bu, kalau normal melahirkannya mesti di puskesmas kalo mau pake BPJS, kecuali ada penyulit. Kalo ibu tetep mau minta pengantar bisa aja, tapi jatohnya pengantar atas permintaan sendiri, jadi sama aja nanti nggak bisa pakai BPJS.”

Saya pun kurang puas sama jawabannya (padahal, yang bener memang begitu prosedurnya. Hehe). Bidannya pun melanjutkan, “Kalo nggak gini aja Bu, misal nanti Ibu udah mulai mules ke sini aja, kan biasanya mau lahiran gak langsung tuh (gak langsung brojol-red) mules-mules dulu, nanti kalo di sini nggak bisa baru nanti dirujuk ke Puskesmas yang lebih besar, kalo nggak bisa juga baru nanti dirujuk ke RS.” Dalem hati, “Muke gileeee, keburu berojol di jalan guee” Akhirnya saya pun memutuskan untuk pulang dengan tangan kosong. Perlu dicatat, lahiran normal tanpa penyulit emang seharusnya dilakukan di puskesmas, ini saya aja yang bandel dan nggak mau rugi ceritanya. Wkwkwk.

Besok-besoknya kakak saya coba telepon ke RS tempat saya mau melahirkan, untuk tanya, bisa nggak pake BPJS. Terus ternyata katanya kalo mau lahiran datang aja langsung ke UGD. Kalo jatohnya darurat boleh nggak pake rujukan. Oke, noted. Hihihi.

Dan di 39W2D, saya pun kontrol ke obgyn seperti biasa. Setelah dicek semuanya normal, jadi direncanakan normal. Berhubung udah mendekati HPL jadi kata obgyn-nya kontrol lagi minggu depannya, tapi sudah siap bawa perlengkapan. Kalau belum kontraksi juga, nanti dibantu induksi. Saya jadi deg-degan, denger-denger induksi tuh sakitnya bukan main. Saya terus berdoa supaya bisa lahiran normal, sehat, selamat.

Saat itu baru sekitar 2 minggu pasca lebaran. Jadi masih suasana silaturahim ala lebaran. Hari Minggu sore (10 Agustus 2014) saya masih mengunjungi rumah saudara di daerah Tangerang untuk bersilaturahim. Perut udah semakin berat, neken ke bawah. Kalau naik motor dan menghadap depan, rasanya nggak nyaman, padahal biasanya nyaman-nyaman aja. Nah, Senin pagi dini hari, sekitar jam 3 pagi, saya mulai merasakan mules. Awalnya, saya pikir itu kontraksi palsu. Sambil saya pantau terus pakai aplikasi I’m expecting di handphone, pas saya lihat kayaknya ini udah 10 menit sekali. Saat Subuh, Paksu ke masjid, saya pun ke kamar mandi untuk buang air kecil dan wudhu. Tiba-tiba keluar darah seperti menstruasi. Saya langsung keluar memberi tahu Mama. Pulang dari masjid, Paksu pun disuruh Mama untuk tidak berangkat kerja, karena saya sudah mau lahiran.

Baca lebih lanjut

Peran Suami di Masa Kehamilan

Ditulis oleh: Clarabella

Hai Moms. Saya Bella, working mom dengan satu anak. Saat ini, usia anak saya 29 bulan. Menjadi seorang ibu baru emang nggak segampang bikinnya. Saya termasuk yang Alhamdulillah cepet dikasih kepercayaan hamil setelah nikah. Saya nikah tanggal 3 November 2013, awal Desember 2013 saya dinyatakan hamil. Bayangin, baru nikah, masih belom move on dari euforia acara pernikahan, terus tau-tau udah hamil aja. Saat itu kaget tapi bersyukur banget, karena nggak semua orang bisa cepet dikasih kepercayaan. Tapi sekaligus gugup juga, “Bisa nggak yah gue jadi ibu yang baik?”.

Sedikit-sedikit saya udah tau sih soal bayi. Karena dulu sempet ngurus keponakan pas saya masih kuliah. Jadi saat banyak orang yang bertanya “Emang bisa ASI disimpen? Nggak basi?” atau “Ngapain capek-capek mompa ASI? Kok nggak dikasih susu formula aja?” atau “Clodi? Apaan tuh?” saya udah bisa jawab semua pertanyaan itu dengan pede. Padahal apalah saya saat itu, boro-boro punya anak, jodohnya aja belom ketemu (Hayaaah. Hahaha). Bedanya saat itu saya cuma ngurus aja, belom ngalamin punya sendiri, yang pastinya rasanya beda. Dan bener aja, pas baru hamil tiba-tiba nge-blank, “What I have to do??”

Saat hamil muda, saya seperti ibu-ibu hamil kebanyakan. Mengalami morning sickness, mual di pagi hari. Kadang di siang atau malam hari juga. Kalau udah mual, makanan apa aja susah masuk. Alhamdulillah, Paksu (Pak Suami-red) sigap, kalau saya mual, dia ngasih saya yoghurt c*mory yang jadi favorit saya pas hamil.  Setiap hari ia juga menggantikan tugas saya untuk cuci piring, nyapu, masak, dan lain-lain. Saya cuma tinggal bantu-bantu dikit aja, itu pun kalau saya lagi nggak mual. Paksu juga nggak pernah lupa mijitin punggung saya yang terasa pegal setiap malam (*sun pipi* emot lope-lope)

Baca lebih lanjut

Aku Divonis Blighted Ovum

 

Ditulis oleh: Fadiah Inasa

Hai moms, sebelumnya setelah menikah saya dan suami tidak memiliki rencana untuk memiliki buah hati dalam waktu dekat. Bahkan, saya yang cenderung santai, sedikit ogah-ogahan, waktu diminta cek test pack oleh suami yang kebetulan sudah menginginkan anak dari kami. Sebulan setelah pernikahan kami, saya telat haid kemudian langsung cek kehamilan menggunakan test pack. Begitu kagetnya saya setelah melihat hasil test pack tersebut yang menunjukkan saya positif hamil. Rasanya campur aduk meskipun saat itu saya belum membayangkan bagaimana rasanya bila kelak dalam 9 bulan kemudian kami memiliki anak.

Singkat cerita, kami memeriksakan kandungan saya ke dokter kandungan saat itu. Bidan dan dokter spesialis kandungan telah saya datangi dan hasilnya menunjukkan kehamilan saya masih kecil. Minggu berikutnya saya kembali lagi ke dokter kandungan di salah satu rumah sakit ibu dan anak di Bogor dan dinyatakan hamil kemudian diberikan beberapa vitamin serta diminta untuk menjaga pola makan. Kami pulang dengan perasaan senang dan haru.

Kandungan Blighted Ovum

Selang beberapa hari dari terakhir periksa ke dokter, saat saya terbangun di pagi hari, saya melihat darah keluar dari vagina saat sedang ke kamar kecil. Perasaan saya saat itu kaget dan aneh karena tidak mungkin saya menstruasi sedangkan saya sudah dinyatakan hamil. Akhirnya kami pun mendatangi dokter spesialis kandungan yang sebelumnya memeriksa saya. Betapa kagetnya kami setelah mendengar bahwa kehamilan saya divonis blighted ovum. Kehamilan kosong, atau bahasa dokter yang memeriksa saya waktu itu BO (Blighted Ovum) adalah kondisi kehamilan tanpa embrio. Pada saat terjadi pembuahan, sel-sel tetap membentuk kantung ketuban, plasenta, namun telur yang telah dibuahi tidak berkembang menjadi sebuah embrio yang nantinya kehamilan tersebut tidak berkembang (kosong) (sumber: bidanku.com).

Menurut dokter spesialis kandungan yang memeriksa saya saat itu, hal itu bisa terjadi pada kehamilan pertama, mungkin karena mengangkat benda-benda yang berat ataupun melakukan hubungan seksual atau mengkonsumsi makanan atau minuman yang berbahaya bagi janin yang berusia muda. Namun, yang saya baca, Blighted Ovum memang tidak dapat dicegah, karena keguguran dari blighted ovum sering terjadi karena masalah dengan kromosom, struktur yang membawa gen. Hal ini terkait dengan kualitas sperma atau sel telur yang rendah. Atau, mungkin terjadi karena pembelahan sel yang abnormal. Apapun masalahnya itu, tubuh wanita akan menghentikan proses kehamilan karena sudah tahu bahwa kehamilan tidak normal. Bersumber dari: Apa Penyebab Blighted Ovum (BO) ? | Mediskus

Untuk penanganan kehamilan blighted ovum tentunya tidak lain harus melalui kuretase (operasi rahim untuk wanita dengan masalah menstruasi, hamil, kontrasepsi, keguguran, atau polip, atau setelah melahirkan -wikipedia). Dalam hal ini, untuk mengeluarkan calon jabang bayi yang sudah dikandung selama 2 bulan. Kemudian tanpa pemeriksaan lanjutan, dokter yang memeriksakan kandungan saya menuliskan surat rujukan tindakan untuk kuretase esok harinya.

Mencari rujukan BPJS

Saya dan suami saat itu hancur hatinya. Buah hati yang bahkan belum berumur dua bulan sudah harus dipisahkan dari kami. Kami lantas mengikhlaskan hati sambil melakukan proses administrasi BPJS untuk kuretase besok. Datang ke klinik di Ciomas bertemu dokter BPJS saat itu betul-betul pertolongan Allah. Dokter yang memberikan rujukan agar dapat menggunakan BPJS menyarankan kami agar mencari second opinion ke dokter kandungan yang lain sambil tetap memberikan surat rujukan apabila sewaktu-waktu betul dibutuhkan.

Kami kembali ke RSIA tempat memeriksakan kandungan saya di hari itu juga dan mencari dokter spesialis kandungan yang lain. Dr Gharini, Spog yang akhirnya kami temui dan memberikan pencerahan dengan diagnosanya.

Baca lebih lanjut

First pregnancy? Read, Read, and Read

Ditulis oleh: Uthi

 

Hai booeeboo, mau sharing mengenai pengalaman jadi bumil baru.

Rasanya bahagia banget pertama kali test pack dan hasilnya positif. Inget banget bangunin suami sambil kibas-kibas test pack di depan matanya, suami senyum-senyum dan nggak lama kemudian nanya “Cara bacanya gimana?”

Setelah test pack hasilnya positif, aku dan suami segera ke dokter kandungan untuk cek kehamilan dan usg, alhamdulillah janin berkembang baik.

Baca lebih lanjut